KEMUSYRIKAN MENURUT MADZHAB SYAFI’I - 4

3:05 PM Posted In Edit This 0 Comments »
KESALAHPAHAMAN DAN SANGGAHANYA

Sementara orang yang senang membuat bangunan-bangunan di atas kubur, berpendapat bahwa membangun masjid di atas kubur itu boleh. Dalilnya adalah kisah Ash-habul Kahfi, di mana orang-orang itu membangun masjid di atas kubur Ash-habul Kahfi.

Imam al-Hafizh Ibnu Katsir menjawab kesalahpahaman ini dengan dua jawaban:

1. Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang-orang kafir dan musyrik. Oleh karena itu, hal itu tidak dapat dijadikan hujjah (dalil).

2. Sekiranya perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang Islam, maka mereka itu bukanlah orang-orang terpuji dalam perbuatan tersebut.


CONTOH-CONTOH KEMUSYRIKAN

Para ulama madzhab Imam Syafi’i memperingatkan akan contoh-contoh kemusyrikan agar hal itu dijauhi. Imam Syafi’i dan sejumlah pengikutnya, misalnya melarang segala bentuk kemusyrikan, baik syirik besar maupun syirik kecil, seperti berdo’a dan minta tolong kepada selain Allah, bersujud kepada selain Allah, ruku’ kepada selain Allah, nadzar kepada selain Allah, menyembelih binatang untuk selain Allah, keyakinan bahwa seseorang itu dapat mengetahui hal-hal yang ghaib, bersumpah dengan menyebut selain Allah”, menyatakan “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kamu” , dan mempunyai keyakinan bahwa sihir itu sendiri memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang” .

Imam Syafi’i mengatakan, “Orang yang bersumpah dengan menyebut sesuatu selain Allah, seperti seseorang bersumpah, “Demi Ka’bah, demi ayahku, demi tempat ini, tempat itu, dan lain-lain”, kemudi-an ia melanggar sumpahnya itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat (denda sumpah).

Semua sumpah dengan menyebut nama-nama selain nama Allah, dilarang oleh Rasulullah . Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah melarang kamu bersumpah dengan menyebut (nama-nama) nenek moyangmu. Siapa yang mau bersumpah, hendaknya bersumpah dengan menyebut nama Allah, atau diam saja.”

Kami diberitahu Ibnu ‘Uyainah, katanya, ia diberitahu az-Zuhri, katanya, ia diberitahu Salim dari Ayah-nya, kata ayahnya, “Nabi mendengar Umar ber-sumpah dengan menyebut nama ayahnya. Kemudian Nabi bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya Allah melarang kamu untuk bersumpah dengan menyebut nenek moyangmu.” Umar kemudian berkata, “Demi Allah, sesudah itu saya tidak pernah bersumpah dengan menyebut nama selain Allah.”

Kata Imam Syafi’i selanjutnya, “Semua orang yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, saya tidak menyukai ia melakukan itu. Dan saya khawatir sumpahnya itu menjadi maksiat.

Sementara Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki mengatakan, “Dosa besar yang ke seratus enam puluh tujuh adalah menyembelih binatang dengan menyebut nama selain Allah dengan cara yang tidak menyebabkan kafir, misalnya dengan tidak bermaksud mengagungkan sesuatu yang di tuju dalam penyembelihannya, seperti mengagungkan dengan cara beribadah dan sujud.”

Selanjutnya, Imam Ibnu Hajar mengatakan “Menurut ulama penerus madzhab Syafi’i, di antara perbuatan yang menyebabkan sembelihan binatang itu haram dimakan adalah ketika menyembelih mengatakan, “Dengan menyebut nama Allah dan nama Muhammad”, ‘atau Muhammad Rasulullah’ atau ‘Muhammad’. Demikian pula apabila seorang kafir kitabi (Yahudi dan Nashrani) menyembelih binatang untuk gereja, salib, Musa, atau Isa. Begitu pula orang muslim menyembelih hewan untuk Ka’bah, Muhammad, atau menyembelih dengan niat ketaatan ritual untuk penguasa atau yang lain, atau untuk jin, semua itu menyebabkan hewan yang disembelih haram dimakan, dan itu semua merupakan dosa besar.”

Dalam kitab Syarh al-Minhaj, Imam al-Rafi’i mengatakan, “Adapun nadzar yang diperuntukkan kepada makam-makam “keramat”, yaitu pada kubur seorang wali, ulama atau nama wali yang menempatinya, atau tempat-tempat yang dikeramatkan karena sering dikunjungi para wali atau orang-orang shaleh, maka apabila orang yang melakukan nadzar tersebut bermaksud, dan ini yang banyak terjadi dan dilakukan orang-orang awam, untuk mengagungkan bumi, tempat, atau ruangan, orang yang dimakamkan di situ, atau orang-orang yang ada kaitannya dengan tempat-tempat itu, atau dengan niat mengagungkan suatu nama, maka nadzar tersebut batal, tidak sah.

Hal itu karena mereka berkeyakinan bahwa tempat-tempat itu memiliki keistimewaan. Mereka menganggap bahwa tempat-tempat itu dapat menolak bala, mendatangkan keberuntungan, dan dengan nadzar itu, tempat-tempat itu dapat menyembuhkan dari penyakit. Sampai mereka melakukan nadzar untuk batu-batu, karena konon ada orang shaleh yang pernah bersandaran pada batu-batu itu. Mereka juga bernadzar untuk memasang lampu, memberikan minyak untuk sebuah kuburan. Mereka beranggapan bahwa kubur seseorang, atau tempat itu menerima nadzar; maksudnya dengan memberikan nadzar itu maksud seseorang dapat terkabul, misalnya orang sakit bisa sembuh, orang hilang bisa kembali, atau bisa diselamatkan, dan nadzar-nadzar lainnya.

Nadzar dengan cara seperti ini adalah batal, tidak diragukan lagi. Bahkan nadzar untuk memasang lampu, memberikan minyak dan lain-lain pada suatu kuburan adalah batal secara mutlak. Termasuk nadzar untuk memasang lilin yang besar dan banyak di makam Nabi Ibrahim, kubur nabi-nabi yang lain, atau kubur orang-orang shaleh. Orang yang bernadzar itu tidak punya maksud lain dengan memasang lampu di kubur-kubur itu, kecuali mencari berkah dan mengagungkan tempat-tempat itu, karena mereka mengira hal seperti itu merupakan ibadah. Hal ini tidak diragukan lagi kebatilannya. Menyalakan lampu seperti itu adalah haram, baik ada orang yang menggunakannya atau tidak.”

Imam Nawawi mengatakan, “Apabila ada yang bernadzar untuk berjalan kaki menuju ke masjid selain tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Aqsha), maka dia tidak wajib melakukannya, dan menurut madzhab Syafi’i, nadzar tersebut tidak sah.”

Dalam kitab Syarh al-Minhaj, Imam Ibnu Hajar al-Makki mengatakan, “Orang yang menyembelih binatang tidak boleh menyebut “Bismillahi wa ismi Muhammad” (Dengan menyebut nama Allah dan na-ma Muhammad).” Kata beliau, “Menyambung dua kata itu haram, karena hal itu berarti mempersekutukan Muhammad dengan Allah. Sementara hak Allah adalah sembelihan itu disebutkan nama-Nya saja sebagaimana dengan sumpah, harus disebut nama Allah saja.

Apabila ketika menyembelih itu menyebut nama Allah, kemudian nama Muhammad disebut agar memperoleh keberkahan saja, maka hal itu dimakruhkan.

Sedangkan Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami asy-Syafi’i berkata, “Hal itu maksudnya mereka tidak boleh bernadzar kepada selain Allah, mereka tidak boleh thawaf kecuali di Baitullah. Oleh karena itu tidak boleh nadzar untuk para wali dan para ulama shalihin. Tidak boleh pula melakukan thawaf mengelilingi kubur-kubur mereka, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu berthawaf mengelilingi Syaikh Abdul Qadir Jaelani, kubur Syaidina al-Husain, Syaikh al-Badawi, Syaikh ad-Dasuqi, dan lain-lain. Semua itu adalah perbuatan syirik, tidak ada perbedaan pendapat lagi dalam masalah ini.

Banyak pelaku bid’ah yang bodoh-bodoh bernadzar untuk orang-orang shaleh. Sebagian mereka mengirimkan uang untuk memasang gordyn (kelambu) dan membangun kubah, seperti banyak dilakukan orang-orang India dan Pakistan yang bernadzar untuk Syaikh Abdul Qadir Jaelani. Perbuatan ini dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah.

Sementara orang-orang Syi’ah dari India dan Pakistan, mereka bernadzar menyerahkan hartanya untuk kuburan Ahli Bait di Najaf, Karbala, Khurasan, dan Qum. Mereka sengaja datang dari berbagai penjuru dunia ke kubur-kubur itu, untuk melakukan thawaf, minta pertolongan kepada penghuni kubur, meminta agar penghuni kubur itu mengabulkan hajatnya, melepaskan dari kesusahannya, suatu hal yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh pencipta langit dan bumi.

Sebagaimana tidak boleh bernadzar untuk kubur para wali dan shalihin, tidak boleh pula mewakafkan rumah atau kebun untuk kepentingan kubur mereka. Barangsiapa bernadzar untuk selain Allah, ia tidak boleh memenuhi nadzarnya itu, bahkan dia harus minta ampun kepada Allah, bertaubat, membaca kalimat shahadat karena dia telah murtad, apabila ia telah tahu bahwa nadzar untuk selain Allah itu syirik.

Orang yang mewakafkan kebun atau binatang untuk kubur-kubur para wali, maka wakafnya itu batal (tidak sah). Apabila ada orang yang berwasiat seperti itu, maka wasiatnya juga batal (tidak sah). Kebun atau hewan tadi tetap menjadi miliknya. Kita mohon petunjuk kepada Allah untuk kita dan mereka.

Adapun pendapat orang yang mengatakan bahwa nadzar itu untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali, maka pendapat itu adalah batil dan kesesatan yang nyata. Untuk wali dimasukkan ke situ? Apabila ia bermaksud sedekah, silahkan bersedekah kepada orang-orang fakir atas nama sendiri, kedua orang tuanya, dan keluarganya. Dari mana pula ia tahu bahwa penghuni kubur itu adalah wali? Segala sesuatu itu akan dinilai bagaimana akhirnya. Adakalanya seseorang kelihatan baik, tetapi ternyata batinnya buruk; tampaknya muslim, ternyata batinnya kafir zindiq. Orang-orang yang melakukan perbuatan seperti itu sudah jelas ketidakbenarannya dan kesesatannya, yaitu mereka menggiring kambing dan menyembelihnya di kuburan. Ketika anda ingkari hal itu, mereka berkata, “Sembelihan untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali”. Tujuan mereka tidak lain adalah untuk mengelabui dan memutarbalikkan kebenaran. Mereka tidak punya tujuan lain kecuali untuk wali penghuni kubur.

Padahal para ulama telah menjelaskan, bahwa tidak boleh menyembelih hewan di suatu tempat yang dulu pernah dipakai untuk menyembelih hewan untuk selain Allah. Hal itu berdasarkan hadits riwayat Tsabit adh-Dhahhak, katanya, “Ada seorang bernadzar untuk menyembelih onta di suatu tempat bernama Bawanah. Ia bertanya kepada Nabi untuk hal itu. Jawab Nabi , “Apakah di tempat itu ada patung-patung jahiliyah yang disembah?” Para sahabat men-jawab, “Tidak”. Akhirnya Nabi bersabda, “Penuhilah nadzarmu, dan tidak boleh memenuhi nadzar yang berunsur maksiat kepada Allah, dan tidak boleh pula memenuhi nadzar dalam hal-hal yang tidak dimiliki oleh manusia.”


KESALAHPAHAMAN TENTANG AMAL IBADAH YANG DILAKUKAN DI KUBURAN

Ada dua kesalahpahaman tentang amal ibadah yang dilakukan di kuburan, baik berupa nadzar, thawaf, dan sebagainya.

1. Anggapan sementara orang yang kurang pengetahuannya yang menyatakan bahwa orang yang melakukan amalan-amalan di atas kuburan itu tidak dapat disebut musyrik. Mereka itu mempercayai adanya Allah sebagai Pencipa Alam, mereka juga mempercayai Syari’at Islam dan Hari Kiamat. Mereka itu hanya tawassul (berperantara) dengan orang-orang yang shaleh, mereka tidak mau disebut musyrikin, bahkan mereka menghindari kemusyrikan. Bagaimana mungkin mereka disebut orang-orang musyrik?

2. Kekafiran orang-orang musyrik itu adalah karena mereka mengingkari ketuhanan Allah, bukan karena membelokkan ibadah untuk selain Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah :

Artinya :

“Mereka bertanya, apakah ar-Rahman itu?” (Al-Furqan: 60)

Dan firman Allah:

Artinya :

“Padahal mereka itu kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.”

(ar-Ra’d: 30)

Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami asy-Syafi’i menjawab kedua kesalahpahaman itu sebagai berikut:
1. Orang-orang yang melakukan ibadah untuk selain Allah itu tetap disebut musyrik meskipun mereka menjalankan Syariat Islam. Hal itu karena kekafiran dan kemusyrikan itu bercabang-cabang dan bermacam-macam. Sebagaimana juga iman bercabang-cabang. Apabila ada orang yang menjalankan cabang-cabang iman, tetapi ia juga menjalankan sedikit cabang kemusyrikan, maka ia disebut musyrik. Misalnya, ada orang yang menjalankan ibadah shalat, puasa, dan beriman kepada kerasulan Nabi Muhammad, Hari Kiamat, dan hidupnya selalu zuhud, serta berakhlaq mulia, tetapi ia punya keyakinan bintang anu mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi orang. Atau dia punya keyakinan, bahwa di tangannyalah kekuasaan mendatangkan keberuntungan atau kecelakaan. Atau dia punya keyakinan tantang malaikat atau rasul, di mana hal itu tidak boleh diimani kecuali kepada Allah saja. Maka orang tersebut disebut musyrik, meskipun ia beramal shaleh. Bila tidak demikian, maka apa artinya ada kitab ar-Riddah (murtad)? Seseorang bisa disebut kafir atau musyrik meskipun tidak menjalankan semua macam dan jenis perbuatan kekafiran.

Tentang mereka melakukan tawassul karena mereka beranggapan bahwa mereka itu banyak dosanya, sementara para wali itu lebih dekat kepada Allah, sehingga mereka menjadikan para wali itu sebagai perantara antara mereka dengan Allah, maka kemusyrikan seperti inilah yang justru dilakukan orang-orang musyrik Arab pada masa jahiliyah. Sementara bahwa mereka itu mengucapkan dua kalimat shahadat, maka dengan sendirinya ucapan shahadat itu batal atau gugur oleh perbuatan mereka yang bertentangan dengan maksud dua kalimat shahadat itu sendiri, sebagaimana halnya hadats sesudah wudhu’. Pengakuan mereka tentang adanya Tuhan Pencipta Alam tidak ada artinya apa-apa, sebab orang-orang musyrikin juga mengaku adanya Tuhan, tetapi mereka tidak disebut muslim.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang musyrik Arab mengingkari kebangkitan dari alam kubur, maka hal itu dapat dijawab, bahwa keyakinan mereka yang disebut di atas, adalah termasuk faktor-faktor yang menyebabkan seseorang dapat menjadi kafir. Rasulullah mengkafirkan mereka, bahkan membolehkan untuk memerangi mereka, karena faktor-faktor yang banyak jumlahnya. Dan yang terbesar dari faktor-faktor ini adalah mereka menyembah berhala. Faktor lainnya adalah, mereka mengingkari kebangkitan dari kubur (al-ba’ts).

Iman seseorang itu tidak akan diterima oleh Allah, apabila hanya separuh-separuh saja; separuh iman, separuh kafir. Ia wajib tunduk seraya meyakini terhadap apa yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan dibawa oleh Rasulullah, serta mengamalkannya. Orang yang beriman dengan sebagian ajaran al-Qur’an dan tidak beriman kepada se-bagian yang lain, maka dia termasuk kafir. Allah berfirman tentang orang-orang seperti itu.

Artinya :

“Orang-orang kafir itu mengatakan:"Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir)” (An-Nisa :150)

Sekadar mengucapkan dua kalimat shahadat saja tidak akan ada gunanya bagi mereka, sampai mereka mau mengamalkan isi maksud dari dua kalimat shahadat, yaitu melepaskan diri dari menyembah selain Allah dan hanya beribadah (menyembah) kepada Allah saja.

Dari keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan, betapa para ulama dari madzhad Syafi’i itu sebenarnya telah berupaya untuk mengingatkan secara maksimal tentang bahaya kemusyrikan di dunia dan akhirat. Akhirnya, Allah-lah tempat kita mohon pertolongan, dan kepada-Nya kita menyerahkan segala urusan.



KHATIMAH

Segala puji bagi Allah, yang telah memberikan kekuatan kepada kami untuk menyelesaikan buku ini. Semua itu adalah atas anugrah dan kemurahan Allah. Hal-hal penting yang dapat disimpulkan dari buku ini adalah :

1. Bahwa Imam Syafi’i dan para ulama Syafi’iyah pada masa klasik, sedikit sekali berbicara tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan bid’ah-bid’ah kuburan. Hal itu karena pada masa mereka, bid’ah-bid’ah kuburan itu tidak banyak terjadi.

Sementara ulama madzhab Syafi’i pada masa belakangan banyak berbicara tentang masalah tersebut.

2. Kebanyakan ulama madzhab Syafi’i telah melakukan usaha-usaha yang sangat terpuji dalam menutup rapat-rapat segala pintu yang dapat membawa kemusyrikan. Hal ini mereka lakukan dalam rang-ka menjaga tauhid.

3. Bid’ah-bid’ah yang berkaitan dalam masalah kuburan telah menjadi masalah yang sangat berat (parah) yang menimpa kebanyakan orang. Dan hal itu dapat menyeret mereka kepada kemusyrikan yang besar.

4. Syari’at Islam sangat berhati-hati dalam menjaga tauhid, di mana Islam mengharamkan segala macam perbuatan yang dapat menyebabkan kemusyrikan, di antaranya adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengagungan (pemuliaan kuburan).

5. Kemusyrikan benar-benar sangat melecehkan martabat manusia, di mana manusia harus ta’at dan menyembah kepada selain Allah. Kemusyrikan juga merusak akal manusia, karena ia akan mempercayai hal-hal yang bersifat klenik, takhayul, dan khurafat.

Akhirnya, inilah upaya kami yang belum berbuat banyak. Mudah-mudahan Allah menerimanya sebagai amal shaleh yang ikhlas kepada-Nya. Kami mohon maaf kepada para pembaca atas segala kekurangan dan kelemahan kami. Karena kelemahan adalah watak manusia. Allah-lah yang mengetahui di balik segala maksud kita. Dia-lah yang mencukupi kita, dan sebaik-baik Dzat yang kita serahi.



Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

Diringkasdari buku “ Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi`i “ Dr. Abdur Rahman al-Khumayyis Oleh: Husnul Yaqin,Lc



Words of Wisdom :

Ibn 'Umar (radhi-yallaahu 'anhumaa) said:

((Every innovation is misguidance, even if the people see it as something good)).

Abu Shaamah (no. 39)


0 comments: